Jumat, Juni 12, 2009

CERMIN HATI

Khalifah Gila?

Memang betul, khalifah Umar bin Khaththab telah berubah ingatannya. Banyak yang melihat dengan mata kepala sendiri. Barangkali karena umar di masa mudanya sarat dengan dosa, seperti merampok, mabuk-mabukkan, malah suka mengamuk tanpa berperikemanusiaan. Itulah yang mungkin telah menyiksa batinnya sehingga ia ditimpa penyakit jiwa. Yang lebih mengejutkan lagi ketika sedang berkhutbah Jum’at, sekonyong-konyong Umar berseru, “Hai Sariah, hai tentaraku. Bukit itu, bukit itu, bukit itu!” Jamaah geger. Sebab ucapan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan isi khutbah yang disampaikan. Tetapi Abdurrahman tidak mau bertindak gegabah , ia harus tau betul, apa sebabnya Umar berbuat begitu. Maka ditanyailah Umar, “wahai amirul mukminin. Mengapa engkau berseru-seru di sela-sela khutbah engkau seraya pandangan engkau menatap kejauhan?” Umar menjelaskan, “Begini sahabatku. Beberapa pekan yang lalu aku mengirimkan Sariah, pasukan tentara yang tidak kupimpin langsung, untuk membasmi pengacau. Tatkala aku sedang berkhutbah, kulihat pasukan itu dikepung musuh dari segala penjuru. Kulihat satu-satunya benteng untuk mempertahankan diri adalah sebuah bukit di belakang mereka. Maka aku berseru: bukit itu, bukit itu, bukit itu! :setengah tidak percaya, Abdurrahman mengerutkan kening. “Lalu, mengapa engkau duli menangis dan tertawa sendirian selesai melaksanakan sholst fardhu?” tanya Abdurrahman pula.

Umar menjawab, “aku menangis kalau teringat kebiadabanku pada islam. Aku pernah mengubur anak perempuanku hidup-hidup. Dan aku tertawa jika teringat akan kebodohanku. Kubuat patung-patung dari tepung gandum dan kusembah-sembah seperti Tuhan, bila lapar aku makan ‘Tuhan’ ku itu”. Abdurrahman lantas mengundurkan diri dari hadapan Umar. Ia belum boleh menilai, sejauh mana kebenaran ucapan umar tadi. Ataukah hal itu justru lebih membuktikan ketidak warasannya sehingga jawabannya juga kacau balau? Masak ia dapat melihat pasukannya yang teramat jauh dari masjid tempatnya berkhutbah? Akhirnya bukti itupun datang tanpa dimintanya. Yaitu ketika Sariah yang dikirim Umar tersebut telah kembali ke Madinah. Komandan pasukan itu bercerita kepada masyarakat Madinah tentang dahsyatnya peperangan yang mereka alami, “kami dikepung oleh tentara musuh, tanpa harapan akan dapat meloloskan diri dengan selamat. Lawan secara beringas menghantam kami dari segala penjuru. Kami sudah luluh lantak. Kekuatan kami nyaris habis terkuras. Sampai tibalah waktu sholat Jum’at yang seharusnya kami kerjakan. Persis kalai itu kami mendengar sebuah seruan ghaib yang tajam dan tegas: “Bukit itu, bukit itu, bukit itu!” tiga kali seruan tersebut diulang-ulang sehingga kami tahu maksudnya. Serta-merta kamipun mundur ke lereng bukit. Dan kami jadikan bukit itu sebagai bentengdi bagian belakang. Dengan demikian kami dapat melawan seranga musuh dari satu arah yaitu depan. Itulah awal kejayaan kami. “Abdurrahman mengangguk-angguk dengan takjub. Begitu pula masyarakat yang tadinya menuduh umar berubah ingatan. Abdurrahman kemudian berkata, “ Biarlah Umar dengan kelakuannya yang terkadang menyalahi adat. Sebab ia dapat melihat sesuatu yang indera kita tidak mampu melihatnya

Sumber : Majalah Hadila