Kamis, Juni 11, 2009

FARMAKOLOGI 1

Farmakologi I

1. Aspek-aspek Biofarmasi

2. Formulasi obat dan farmaceutical availability

3. Cara-cara pemberian

1 Aspek-aspek Biofarmasi

Sebelum obat yang diberikan pada pasien tiba pada tujuannya dalam tubuh, yaitu tempat kerjanya atau target site, obat harus mengalami proses. Dalam garis besar proses-proses itu dapat dibagi dalam tiga tingkat :

Fasa Biofarmasi

Fasa Farmakokinetik

Fasa Farmakodinamik

Biofarmasi adalah bagian ilmu yang masih muda dan bertujuan menyelidiki pengaruh-pengaruh pembuatan sediaan atas kegiatan terapetik obat.

Faktor-faktor formulasi yang dapat merubah efek obat dalam tubuh adalah :

* Bentuk fisik zat aktif (amorf atau kristal, kehalusannya)

* keadaan kimiawi (ester, garam, kompleks dan sebagainya)

* Zat-zat pembantu (zat pengisi, zat pelekat, zat pelicin, zat pelindung, dsb)

* Proses teknik yang digunakan untuk membuat sediaan (tekanan mesin tablet, alat emulgator, dsb)

2. Formulasi obat dan farmaceutical availability

Farmaceutical availability (FA) merupakan ukuran untuk bagian obat yang dilepaskan dari bentuk pemberiannya dan tersedia untuk proses resorpsi, misalnya dari tablet, kapsul, serbuk, suspensi, suppositoria, dan sebaginya

Setelah ditelan, tablet di dalam lambung akan pecah (desintegrasi) menjadi banyak granul kecil yang terdiri dari zat aktif tercampur dengan antara lain zat pengisi, dan pelekat (gom, gelatin dll). Baru setelah granul-granul ini pecah pula, zat aktif terlepas dan jika daya larutnya besar, akan larut dalam cairan lambung atau usus, tergantung pada dimana beradanya obat pada saat itu. Hal ini ditentukan oleh waktu pengosongan lambung (gastric emptying time), yang pada umumnya berkisar antara 2 dan 3 jam setelah makan. Baru setelah obat larut, proses resorpsi oleh usus dapat dimulai; peristiwa inilah yang disebut farmaceutical availability. Secara skematis mekanismenya adalah sebagai berikut :

Jelaslah dari uraian ini, bahwa obat tersebut bila diberikan sebagai larutan (cairan atau sirop) akan mencapai keadaan FA dalam waktu yang jauh lebih pendek, karena tidak usah mengalami fasa-fasa desintegrasi dari tablet dan granul serta fasa melarut. Contoh nyata adalah asetosal.

Kehalusan serbuk. Obat yang berbentuk kristal harus digiling sehalus mungkin agar mempercepat melarutnya dalam getah usus untuk dapat diresorpsi dengan cepat. Telah dibuktikan, bahwa obat yang sangat halus dengan partikel size 1 -5 mikron menghasilkan kadar darah sampai 2-3 kali lebih tinggi, sehingga dosisnya dapat direndahkan pula dengan 2-3 kalinya, misalnya griseofulvin, spironolakton, digoksin, dsb.

Sebaliknya ternyata bahwa pada pemberian rektal (supositoria), dihaluskannya obat seringkali mengakibatkan pelambatan dari bioavaibilitynya

Zat-zat pembantu. Pada tahun 1971 di Australia terjadi peristiwa difantoin (=fenitoin), pada mana banyak pasien yang menelan tablet anti-apilepsi ini menunjukkan gejala-gejala keracunan. Ternyata bahwa kadar fenitoin dari tablet-tablet tersebut sangat tepat, tetapi pada pembuatannya zat pengisi kalsiumsulfat telah diganti dengan laktosa. Akibat perubahan itu FA fenitoin dipertinggi, yang mengakibatkan meningkatnya resorpsi dengan efek-efek toksis. Begitu pula terdapatnya zat-zat dengan kegiatan permukaan (Tween dsb)

3. Cara-cara pemberian

Disamping faktor formulasi, juga cara pemberian obat turut menentukan cepat-lambatnya dan lengkap atau tidaknya resorpsi obat. Tergantung dari efek yang diinginkan, yaitu efek sistemis (diseluruh tubuh ) atau efek lokal (setempat), dari keadaan pasien dan sifat-sifat fisiko-kimiawi obat, dapat dipilih antara pelbagai cara memerikan obat :

A. Efek sistemis

1. Oral

Pemberian obat melalui mulut (secara peroral) adalah cara yang paling lazim, karena sangat praktis, mudah dan aman. Namun tidak semua obat dapat diberikan peroral, misalnya obat yang bersifat merangsang (emetin, aminofilin) atau yang diuraikan oleh gatah lambung (benzilpenisilin, insulin, oksitosin)

Seringkali resorpsi obat setelah pemberian oral tidak teratur dan tidak lengkap meskipun formulasinya optimal, misalnya senyawa-senyawa amonium kwartener, tetrasiklin, kloksasilin, dan digoksin. Keberatan lainnya adalah obat setelah diresorpsi harus melalui hati, dimana terjadi deaktifasi, sebelumnya diedarkan ke tempat kerjanya.

Untuk mencapai efek lokal dalam usus juga digunakan pemberian oral, misalnya obat cacing, dan antibiotika untuk mensterilkan lambung-usus pada infeksia atau sebelumnya operasi (streptomisin, kanamisin, neomisin, beberapa sulfonamida).

2. Sublingual

Obat dikunyah halus dan ditaruh dibawah lidah (sublingual), dimana berlangsung resorpsi oleh selaput lendir setempat ke vena-vena lidah yang sangat banyak. Keuntungannya ialah dengan cara ini obat langsung masuk ke dalam peredaran darah besar tanpa melalui hati dahulu. Karena ini, cara demikian dipakai jika efek yang pesar dan lengkap diinginkan, misalnya pada serangan angina (suatu penyakit jantung), asma atau migraine (nitrogliserin, isoprenalin, ergotamin)

Keberatannya kurang praktis untuk digunakan terus-menerus dan dapat merangsang selaput lendir mulut. Hanya obat yang bersifat lipofil dapat diberikan dengan jalan ini.

3. Injeksi

Pemberian obat secara parenteral (sebetulnya berarti diluar usus) biasanya dipilih efek yang cepat, kuat dan lengkap dikehendaki. Atau untuk obat yang merangsang atau dirusak oleh getah lambung, atau tidak diresorpsi usus (streptomisin), begitu pula pada pasien yang tidak sadar atau tidak mau bekerjasama. Keberatannya adalah lebih mahal dan nyeri, sukar digunakan oleh pasien sendiri. Begitu pula terdapat bahaya infeksi dengan kuman (harus steril) dan bahaya merusak pembuluh atau saraf jika tempat suntikan tidak dipilih dengan tepat.

Subkutan (hipodermal) Injeksi di bawah kulit dapat dilakukan hanya dengan obat yang tidak merangsang dan larut baik dalam air atau minyak. Efeknya tidak secepat injeksi intramuskule atau intravena. Mudah digunakan sendiri, misalnya insulin.

Intramuskuler (i.m) dengan injeksi di dalam otot resorpsi obat yang terlarut berlangsung dalam waktu 10-30 menit. Sebagai tempt injeksi biasanya dipilih otot pantan, dimana tidak banyak terdapat pembuluh darah dan saraf.

Intravena (i.v) injeksi ke dalam pembuluh darah menghasilkan efek tercepat dalam waktu 18 detik- yaitu waktu satu peredaran darah-obat sudah tersebar ke seluruh jaringan. Tetapi lama kerja obat biasanya hanya pendek. Digunakan untuk mencapai pentakaran yang tepat dan dapat dipercaya, atau efek yang pesat dan kuat. Tidak untuk obat yang tak larut dalam air atau menimbulkan endapan dengan protein atau butir-butir darah.

Injeksi i.v sebetulnya berbahaya karena dengan cara ini benda asing langsung dimasukkan ke dalam aliran darah dan dapat mengakibatkan terganggunya zat-zat koloidanya dengan reaksi-reaksi hebat, umpanya tekanan darah mendadak turun, shock dan sebagainya. Bahay ini diperbesar jika injeksi dilakukan terlalu cepat sehingga kadar obat setempat dalam darah akan meningkat terlalu cepat. Karena ini setiap injeksi i.v dilakukan dengan amat perlahan, antara 50 – 70 detik lamanya.

Infus intravena denga obat sering dilakukan di rumah sakit pada kedaan darurat atau dengan obat yang cepat metabolisme dan ekskresinya guna mencapai kadar plasma yang tetap tinggi. Bahaya trombosis terdapat bila infus dilakukan terlalu sering pada satu tempat.

Intra arteri. Injeksi ke dalam pembuluh nadi adakalanya dilakukan untuk membanjiri suatu organ, misalnya hati, dengan obat yang sangat cepat diinaktifkan atau terikat pada jaringan, umpamanya obat kanker nitrogen-mustard.

Intrakutan (=di dalam kulit) absorpsi sangat perlahan, misalnya injeksi tuberkuli.

Intralumbal (ke dalam ruang pinggang), intraperitonial (ke dalam ruang selaput perut), intrapleurel (selaput dada), intracardial (jantung), intra-artikuler (ke dalam celah-celah sendi).

4. Implantasi subkutan

Obat dalam bentuk pellet steril dimasukkan di bawah kulit dengan suatu alat khusus (trocar). Terutama digunakan untuk efek sistemis lama, misalnya hormon-hormon kelamin (estradiol dan testosteron) dan DOCA. Akibat resorpsi yang lambat, satu pellet dapat melepaskan zat aktifnya secara teratur selama 3-5 bulan lamanya.

5. Rektal

Pemberian obat melalui rektum (dubur) layak sekali untuk obat yang merangsang atau dirusak oleh lambung, biasanya dalam bentuk suppositoria, kadang-kadang sebagai cairan. Seringkali digunakan untuk pasien mual atau muntah-muntah (mabok perjalanan,migrain) atau yang terlampau sakit untuk menelan obat

Sebagai bahan dasar digunakan lemak-lemak yang meleleh pada suhu tubuh, yakni oleum cacao dan gliserida-gliserida sintetik. Demikian pula zat-zat hidrofil yang melarut dalam getah rektum, misalnya campuran-sampuran carbowax dan gelatin+gliserin.

B. Efek Lokal

1. Intranasal

Selain mukosa lambung-usus dan rektum, juga selaput lendir lainnya dalam tubuh dapat menyerap obat dengan baik dan menghasilkan terutama efek setempat. Secara intranasal (melalui hidung) digunakan tetes hidung pada salesma untuk menciutkan mukosa yang bengkak (efedrin, ksilometazolin, dsb). Kadang-kadang juga untuk efek sistemis misalnya vasopresin dan kortikosteroida.

2. Inhalasi

Gas dan zat terbang seringkali diberikan sebagai inhalasi, yaitu larutan obat yang disemprotkan ke dalam mulut dengan alat aerosol.

3. Mukosa mata dan telinga

Obat mata dan salep dipakai untuk mengobati penyakit mata atau telinga. Obat tetes mata ada bahayanya, karena obat diresorpsi ke dalam darah dan menimbulkan efek toksis.

4. Intravaginal

Untuk mengobati secara lokal gangguan-gangguan vagina tersedia salep atau tablet yang harus dimasukkan ke dalam vagina dan melarut disitu, misalnya metronidazol dan pimarisin pada vaginitis (radang) akibat parasit-parasit trichomonas dan candida

5. Kulit (topikal)

Pada penyakit-penyakit kulit obat digunakan sebagai salep, krim, atau lottio (kocokan). Kulit yang sehat dan utuh sukar sekali dimasuki obat, tetapi bila ada kerusakan, resorpsi dapat terjadi. Efek sistemis yang menyusul kadang-kadang berbahaya, sebagaimana halnya dengan kortikosteroid.


FARMAKOLOGI UMUM

1. Perkembangan sejarah obat

2. Definisi-definisi

3. Farmakope dan nama obat

1. Perkembangan sejarah obat

Sebg obat dapt dianggap semua zat baik kimiawi, hewani, maupun nabati, yg dlm dosis lyak dpt :

* Menyembuhkan

* Meringankan atau

* Mencegah penyakit dan gejala-gejalanya

Obat dahulu digunakan adalah dari tanaman, dgn mencoba-coba orang purba mndptkn pglmann dgn berbagai macam daun, akar tumbuh-tumbuhan untuk mengobati penyakit . pengetahuan ini secara turun menurun disimpan dan dikembangkan, sehingga dimana-mana menjadi ilmu pengobatan rakyat.

Tetapi tidak semua obat memulai riwayatnya dari obat anti penyakit, pada awalnya digunakan untuk :

§ Alat ilmu sihir

§ Kosmetika atau

§ Racun untuk membunuh musuh, ex : strychnin dan kurare yg digunakan oleh pribumi Afrika dan Amerika selatan, atau obat kanker nitrogen mustard yg dipakai sbg gas-racun (mustard-gas pd perang dunia ke-I)

Obat-obat nabati seperti rebusan dan ekstrak dgn aktifitas dan efek yg berbeda tergantung dari asalnya tanaman dan cara pembuatan. Tetapi hal ini kurang memuaskan, maka kemudian lambat laun para ahli kimia mulai mencoba mengisolasi zat-zat aktif yg terkandung dalam tanaman-tanaman, hasil dari percobaan mereka adalah :

* Efedrin dari tanaman Ma Huang (=Ephedra vulgaris)

* Atropin dari Atropa belladona

* Morfin dari candu (=Papaver somniferum)

* Digoksin dari Digitalis lanata

Dari hasil penyelidikan setelah tahun 1950 ditemukan senyawa baru:

* Reserpin dan resinamin dari Rauwolfia serpentina

* Vinblastin dan vincristin dari Vinca rosea sejenis kembang serdadu

Pada permulaan abad ke-20 obat-obat kimia sintetik mulai nampak kemajuannya dgn ditemukan obat obat terkenal seperti Salvarsan dan Aspirin. Pendobrakan sejati dengan ditemukannya obat kemoterapetik sulfanilamid dan penisilin, sebenarnya sudah diketahui selama dua ribu tahun bahwa borok-borok bernanah dapat disembuhkan dengan kapang-kapang tertentu, tetapi baru pada tahun 1928 khasiat ini diselidiki secara ilmiah oleh penemu penisilin Dr. Alexander Fleming.

2. Definisi-definisi

Farmakologi atau ilmu khasiat adalah ilmu yang mempelajari pengatahuan obat dalam seluruh aspeknya, yaitu sifat-sifat kimiawinya dan fisikanya, kegiatan fisiologi, resorpsi, dan nasibnya dalam organisme hidup.

Farmakologi klinik menyelidiki semua interaksi ini antara obat dan khususnya tubuh manusia, serta penggunaannya pada pengobatan penyakit.

Farmakognosi mempelajari pengatahuan dan pengenalan obat-obat berasal dari tanaman dan zat-zat aktifnya, begitu pula yang berasal dari dunia mineral dan hewan.

Biofarmasi menyelidiki pengaruh formulasi obat terhadap efek terapetiknya, dengan kata lain, dalam bentuk sediaan mana obat harus dibuat agar menghasilkan efek yang optimal.

Farmakokinetika menyelidiki nasib obat mulai dari saat pemberiannya, bagaimana absorpsinya dari usus, transpor dalam darah dan distribusinya ke tempat kerjanya dan jaringan-jaringan lain.

Farmakodinamika mempelajari kegiatan obat terhadap organisme hidup, terutama cara dan mekanisme kerjanya, reaksi fisiologi serta efek terapeutik yang ditimbulkannya.

Toksikologi adalah pengetahuan tentang efek racun terhadap tubuh dan sebetulnya termasuk pula dalam farmakodinamika.

Farmakoterapi mempelajari penggunaan obat untuk mengobati penyakit atau gejala-gejalanya.

Obat yang digunakan dalam terapi dibagi dalam tiga golongan :

a. Obat farmakodinamik, yang bekerja terhadap tuan rumah dengan jalan mempercepat atau memperlambat proses-proses fisiologi atau fungsi-fungsi biokimia dalam tubuh, misalnya : hormon-hormon, diuretika, hipnotika, dan obat-obat otonom.

b. Obat kemoterapeutik, obat ini dapat membunuh parasit dan kuman di dalam tubuh tuan rumah. Hendaknya obat ini memiliki kegiatan farmakodinamik yang sekecil-kecilnya dan berkhasiat membunuh sebesarny-besarnya terhadap sebanyak mungkin jenis parasit dan kuman ( cacing, protozoa, bakteri dan virus). Obat neoplasma (kanker) .

c. Obat diagnostik sebetulnya bukan dimaksud untuk mengobati penyakit, melainkan merupakan obat pembantu untuk melakukan diagnosis (pencegahan penyakit), misalnya dari saluran lambung-usus (barium sulfat), saluran empedu (natriumiopanoat dan asam iod organik lainnya).

3. Farmakope dan nama obat

Farmakope adalah buku resmi yang ditetapkan hukum dan memuat standarisasi obat-obat penting serta persyaratan identitas, kadar kemurnian dan sebagainya, begitu pula metoda-metoda analisa dan resep-resep sediaan farmasi.

Kebanyakan negara memiliki farmakope nasionalnya dan obat resmi yang dimuatnya merupakan obat dengan nilai terapi yang telah dibuktikan oleh pengalaman lama.

Farmakope Indonesia dikeluarkan pada tahun 1962 (jilid I) disusul dengan jilid II (1965) yang mengandung bahan-bahan galenika dan resep-resep, maka farmakope Indonesia jilid I dan II telah direvisi menjadi Farmakope Indonesia Edisi II yang mulai berlaku sejak tanggal 12 November 1972

Dalam tahun 1977 sebuah panitia terbentuk untuk menelaah kembali Farmakope Indonesia Edisi II dan dalam tahun 1979 Farmakope Indonesia Edisi III telah terbit yang diberlakukan mulai tanggal 12 November pada tahun yang sama.

WHO suatu badan dari UNESCO (cabang UNO) telah menerbitkan pula dua jilid Farmakope Internasional (1956). Begitu pula dewan eropa dan persekutuan ekonomi eropa (EEC) telah mengeluarkan tiga jilid Farmakope Eropa yang berlaku di semua negara eropa barat di samping Farmakope nasionalnya.